Vol.12 | Kenaikan Tarif PPN di Masa Pasca Krisis: Sebuah Solusi Atau Maladministrasi?
Achmad Farhan, Alicia Rayyannaira, Azra Zafirah, Chelsea Neobing, Dina Elvinna, Nugraha Wira
30 Oktober 2022
0
A. Pendahuluan
Pajak pertambahan nilai (selanjutnya akan disebut PPN) adalah pajak yang dipungut di setiap transaksi dalam setiap mata rantai produksi dengan mekanisme pengkreditan pajak (Bird & Gendron 2007). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2022, PPnBM (pajak pertambahan nilai dan penjualan barang mewah berkontribusi atas 30% dari realisasi penerimaan negara (BPS 2022). Angka tersebut menunjukkan bahwa PPN di Indonesia memiliki significant economic presence sehingga menjadi sangat krusial dalam menahkodai perekonomian negara. Pada tahun 2022 ini, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif PPN yang semula bernilai 10% menjadi 11%. Kenaikkan ini oleh pemerintah didasari dengan argumen untuk memperbaiki APBN yang telah mengalami defisit secara berturut-turut selama krisis pandemi (Nurhidayah 2022). Defisit anggaran tersebut lahir dari krisis pandemi yang memaksa pemerintah untuk memberikan banyak insentif pajak dan stimulus ekonomi yang membebani keuangan negara selama krisis. Kini krisis pandemi telah membaik, tetapi lukanya pada perekonomian masih belum sembuh. Lantas, apakah kebijakan menaikkan tarif PPN sudah menjadi langkah yang tepat agar luka tersebut bisa sembuh?
B. Analisis
Kenaikkan PPN, dalam teori, menjadi cara cepat bagi pemerintah untuk menaikkan penerimaan negara dalam jangka pendek. Meski demikian, bukti empiris membuktikkan bahwa kenaikkan tarif pajak secara tidak terkalkulasi justru dapat mendistorsi ekonomi dan menyebabkan penurunan penerimaan negara. Banyak sekali faktor lain dalam peningkatan penerimaan negara selain tarif pajak itu sendiri, contohnya adalah struktur ekonomi dan kapasitas administrasi pajak suatu negara. Keen dan Lockwood (2010) menemukan bahwa implementasi PPN di struktur perekonomian yang masih bertumpu pada sektor informal tidak memiliki dampak signifikan pada penerimaan negara. Menurut penelitian yang dilakukan Arrachman dan Qibthiyyah (2018), tarif maksimum PPN di Indonesia ketika didasarkan pada model kurva laffer 1 dan kondisi informal berkisar pada 22%-22,5%. Penerapan tarif melebihi nilai tersebut justru (menurut kurva laffer) dapat mengurangi penerimaan negara. Hal ini sesuai dengan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara pada kurva laffer yang berbentuk huruf-U terbalik.Wijaya (2013) menyatakan bahwa penerimaan PPN berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Miki (2011) menyatakan bahwa kenaikan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hakim (2016) menyatakan bahwa PPN berdampak negatif terhadap negara berkembang tetapi berdampak positif di negara maju. Anojan (2015) menyimpulkan bahwa PPN berdampak positif terhadap PDB Indonesia, sehingga kenaikan tarif PPN merupakan salah satu jalan yang tepat untuk menaikan penerimaan negara. Aini dan Setyari (2019) mengemukakan bahwa kenaikan tabungan nasional akan menaikan investasi asing. Kenaikan tabungan nasional bisa didapat dengan menaikan tarif PPN.Pemerintah Indonesia menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dengan harapan tercapainya realisasi target penerimaan pajak dan memulihkan perekonomian Indonesia yang sempat menurun akibat pandemi COVID-19. Kenaikan tarif PPN didukung oleh tokoh-tokoh Indonesia seperti Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad dan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara. Beliau menyebutkan bahwa dengan adanya kebijakan kenaikan tarif PPN dapat merespon total utang pemerintah tahun 2021, defisit anggaran, dan dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui simplifikasi pajak.Selain dukungan yang diterima terkait kenaikan tarif pajak PPN, terdapat juga lontaran negatif yang diterima terkait hal tersebut. Tokoh-tokoh yang menyatakan lontaran negatif adalah Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) , Rizal Edy Halim dan Peneliti Center of Industry Trade and Investment Indef, Ahmad Heri Firdaus. Beliau menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN akan berimbas kepada naiknya harga barang dan jasa sehingga mengurangi daya beli konsumsi dan produksi, berkurangnya penyerapan tenaga kerja, menurunnya pendapatan dan konsumsi masyarakat, dan menghambat pemulihan ekonomi dan pendapatan negara pasca pandemi.
C. Kesimpulan
Terdapat pro-kontra dari kalangan ahli terkait tepat atau tidaknya kebijakan kenaikkan tarif PPN sebagai langkah pemulihan pasca krisis. Menurut hemat penulis, agar kebijakan tersebut menghasilkan output yang baik kapasitas pelaksanaan APBN di Indonesia harus tepat sasaran. Kenaikkan PPN harus diiringi dengan timbal balik dalam bentuk belanja negara yang efektif membangkitkan gairah ekonomi. Program yang membebankan keuangan negara tanpa menghasilkan manfaat bagi masyarakat harus 2 dipangkas. Maka dari itu, penulis berpendapat, langkah terbaik yang bisa dilakukan sekarang bagi pemerintah adalah mengelola penerimaan negara dengan sebaik mungkin. Sebuah pajak sebesar apapun akan terjustifikasi jika terkelola dengan baik.
Referensi
Gendron, Pierre Pascal, & Bird, R. (2007). The VAT in Developing and Transitional Countries. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511619366.
Realisasi Pendapatan Negara 2020–2022. (n.d.). bps.go.id.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Sekretariat Negara, Jakarta.
Nurhidayah, Hi. (2022, April 18). Alasan Kenaikan Tarif PPN 11 persen. Pajak.Com. Diakses pada tanggal 25 September 2022.
Keen, M., & Lockwood, B. (2010). The Value Added Tax: Its Causes and Consequences. Journal of Development Economics.
Arrachman, F. R., & Qibthiyyah, R. M. (2018). The Relationship of VAT Rate and Revenues in the Case of Informality. Economics and Finance in Indonesia.
Liyana, Nur Farida. “Menelaah Rencana Kenaikan Tarif PPN Berdasarkan Bukti Empiris Serta Dampaknya Secara Makro Ekonomi.” Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review) 5.2 (2021): 124–135.
Rahmah, Nurul. “Alternatif Solusi Dalam Pemulihan Ekonomi Tahun 2022 Dengan Menimbang Pro Kontra Kenaikan Ppn 11% Oleh: Anindya Putri….” Academia.Edu (2022).
Anojan, V. (2015). Value Added Tax (VAT), Gross Domestic Product (GDP) and Budget Deficit (BD): A Case Study in Sri Lanka. Department of Accounting, Faculty of Management Studies and Commerce, University of Jaffna, Sri Lanka.
Full PDF version can be accessed here